(sumber: id.theasianparent.com) |
Islam adalah agama rahmatan lil’alamiin, sebagai bentuk rahmat dan kasih sayang Allah SWT kepada seluruh makhluknya. Islam selalu mengajarkan keteduhan dalam hati para pemeluknya. Umat islam yang disebut kaum muslimin dan muslimah menjunjung tinggi adab dan kehormatannya. Islam merupakan agama yang mulia nan sempurna. Islam mengatur semua tata kehidupan manusia, baik ibadah dan muamalah. Bahkan islam memiliki kalender penanggalan sendiri, yaitu halender hijriyah atau yang disebut juga kalender qomariyah.
Pencetusan halender hijriyah dibentuk pada masa Khalifah ‘Umar bin Khattab radiyallahu ‘anhu. Sejarah penanggalan kalender islam bermula dari keresahan ‘Umar bin Khattab saat menerima balasan surat dari Gubernur Bashrah Abu Musa al-Asy’ari. Abu Musa mengawali suratnya dengan awalan “Membalas surat dari tuan yang tidak bertanggal”. Kemudian khalifah ‘Umar merasa tersindir dan berinisiatif membentuk penanggalan islam. Lalu diadakanlah musyawarah yang akhirnya mencapai mufakat bahwa penanggalan hijriyah dimulai pada 1 Muharram bertepatan dengan hijrahnya Nabi Muhammad SAW dari kota Mekkah ke Madinah pada tahun 622 Masehi. Jadi, disebut kalender hijriyah karena penanggalan itu berpatokan pada tahun pertama hijrahnya Rasulullah SAW ke Yatsrib (Madinah).
Kalender komariah ini menghitung satu tahun dari 12 siklus sinodis bulan atau 12 fase ketika hilal tampak setiap bulannya. Berbeda dengan penanggalan syamsiyat yang jumlah harinya 30 atau 31 per bulan, pada kalender lunar, rata-rata per bulannya adalah 29,53 hari.
Saat ini, kalender hijriyah telah berusia 1443 Hijriah. Dimulai pada 1 Muharram sebagai tahun baru islam yang bertepatan pada Selasa, 10 Agustus 2021. Itu artinya, kalender islam hampir menginjak usia 15 abad. Rasulullah pun merumpamakan bahwa umur umat islam tidak sampai 1.500 tahun hijriyah. Apa kita masih ingin berleha-leha dengan terus mementingkahn urusan duniawi daripada urusan ukhrawi?
Biasanya, pada perayaan
tahun baru masehi yang merupakan tahun baru internasional, masyarakat cenderung
merayakannya dengan aksi foya-foya dan menghambur-hamburkan uang. Seperti
menyalakan kembang api, meniup terompet hingga panggung hiburan. Padahal dalam
islam hal-hal tersebut tidak diperbolehkan karena tradisi meniup terompet
merupakan tradisi kaum Yahudi, dan tradisi menyalakan petasan serta lilin
adalah tradisi kaum majusi (penyembah api). Allah juga melarang umatnya untuk
melakukan pemborosan dan pemubadziran. Seperti tertera dalam kalam Allah
QS. Al Isro’ [17]: 26-27;
Ùˆَلا تُبَØ°ِّرْ
تَبْØ°ِيرًا Ø¥ِÙ†َّ الْÙ…ُبَØ°ِّرِينَ Ùƒَانُوا Ø¥ِØ®ْÙˆَانَ الشَّÙŠَاطِينِ
“Dan janganlah kamu
menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu
adalah saudara-saudara syaitan.”
Makna tahun baru islam
sendiri seperti yang saya tulis diatas yaitu hijrahnya Nabi Muhammad SAW ke
kota Madinah al-Munawwarah. Ini dimaknai sebagai bentuk perjuangan sang baginda
besar Muhammad SAW dan para sahabatnya untuk menyebarkan agama islam.
Perjuangan ini pastinya mengalami kesulitan dan rintangan yang akhirnya mampu
dilakoni oleh para mujahid.
Kemudian, dengan cara
apa tahun baru islam dirayakan?
Pada tahun baru islam,
sudah semestinya kita merayakannya dengan hal-hal yang positif dan mengundang
kebermanfaatan. Jadikan momen tahun baru sebagai sarana untuk beristighosah,
sekaligus dengan muhasabah diri dan evaluasi mengingat lautan dosa yang telah
kita perbuat pada tahun sebelumnya, serta berusaha merefleksikan diri dengan
membuat resolusi kedepannya agar lebih baik lagi. Yang terpenting adalah
mengevaluasi ketakwaan kita.
Dikutip dari Republika,
“Evaluasi ketakwaan bisa dilihat dari tiga aspek, yaitu iman, islam dan
ihsan.” Aspek iman berdasar pada rukun iman, apakah selama ini kita telah
beriman pada enam rukun iman, atau malah mengingkari keimanan tersebut dengan
berbuat syirik?
Kemudian pada aspek
islam, yaitu berdasar pada lima rukun islam. Apakah selama ini kita telah
melaksanakan dengan baik lima perintah Allah yang termaktub dalam rukun islam?
Pertama, Ingatlah selalu Allah SWT., tuhan semesta Alam. Karena dengan
mengingat Allah, hati menjadi tenang. Kedua, lihatlah sholat kita, bila sholat
kita baik, maka akan terhindar dari perbuatan keji dan mungkar. Ketiga, apakah
harta yang kita miliki sudah disedekahkan kepada yang berhak menerimanya, atau
justru kita malah berfoya-foya dengan harta benda kita? Sudahkan mengingat
fakir miskin yang mungkin hidupnya tidak seberuntung kita?. Keempat,
evaluasikan apakah selama ini telah menjalankan ibadah puasa dengan ikhlas?
Apakah kita telah sering melaksanakan puasa sunnah, atau bahkan wajib dan
sunnah sering kita tinggalkan?. Dan yang kelima, sudahkah kita menyisihkan uang
untuk menabung agar bisa pergi ke Baitullah? Bila telah mampu, maka
laksanakanlah rukun islam yang kelima ini.
Yang terakhir ada pada
aspek ihsan. Rasulullah bersabda, “Ihsan adalah: Engkau beribadah kepada Allah
seakan-akan engkau melihatNya, dan kalaupun engkau tidak melihatNya
sesungguhnya Dia selalu melihat engkau.” Sudahkah selama ini niat kita
beribadah hanya untuk Allah, atau hanya ingin dilihat oleh orang lain sehingga
menjerumuskan pada perbuatan riya? dan sudahkah kita memperbaiki
akhlak kita terhadap orang tua, guru, teman dan saudara kita, atau justru malah
kita sering menyakiti mereka?
Marilah jadikan momen
tahun baru islam ini sebagai media untuk bermuhasabah diri. Tak hanya pada
momen tahun baru saja, evaluasi ketakwaan haruslah dilakukan setiap hari,
sebelum ajal menjemput. Yuk, sama-sama berbenah diri! Aku, kamu dan
kita semua.
Referensi:
Hadi, A. (2020). Sejarah Muharam &
Tahun Baru Islam: Hijrah Hingga Tragedi Karbala. Tirto.
https://tirto.id/sejarah-muharam-tahun-baru-islam-hijrah-hingga-tragedi-karbala-fZ2Q
Republika. (2018). Cara Terbaik
Merayakan Tahun Baru Hijriyah.
https://www.republika.co.id/berita/peoh9e313/cara-terbaik-merayakan-tahun-baru-hijriyah
Komentar
Posting Komentar